Kamis, 14 Mei 2009

ANTARA KIAI POLITIK DAN POLITIK KIAI

Dalam al-Qur’an, ada dua ayat yang menegaskan “Eksistensi Ulama’”. Yang pertama dalam surat Faathir-28, dalam ayat ini terlebih dahulu Allah mengajak hambaNya untuk memahami ayat-ayatNya yang bersifat “Kauniyyah” (Fenomenal) dengan menjelaskan secara detail tentang bagaimana “Ia menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan darinya berbagai buah-buahan yang beraneka ragam jenis dan warnanya, juga tentang gunung-gunung dengan berbagai keindahan ragamnya, ada yang mengeluarkan garis-garis putih,merah juga ada yang hitam pekat, pernyataan ini diteruskan dengan mengajak kita untuk berpikir tentang berbagai macam binatang melata,hewan ternak juga tentang manusia itu sendiri”, setelah penjelasan fenomena alam tersebut barulah Allah menutup ayat ini dengan firmanNya “Sesungguhnya orang yang paling ‘takut’ (tunduk) kepadaNya hanyalah mereka yang berilmu (yang disebut dengan Ulama’) ayat ini dengan jelas menggambarkan bahwa ulama’ adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang benar tentang alam semesta sebagai ayat atau tanda kebesaran Allah yang bersifat Kauniyyah. Pemahaman & penghayatan dari ayat inilah yang menghantarkan mereka para ulama’ memiliki sikap Tawadhu’ alias Andap asor, sebagai salah satu ciri yang harus dimiliki mereka karena merasakan kelemahan dirinya dihadapan sang Kholiq yang serba maha. Jadi ia tidak sombong, bersedia menghargai orang lain, dan lebih suka menghormati daripada dihormati.
Dalam ayat kedua yang juga menyitir ulama’ pada surat Asshoff 2-3 Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”. Ayat ini dengan redaksi yang cukup lugas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya, seorang ulama’ adalah guru yang lebih menitik beratkan pada aspek pendidikan yang mengarah pada “uswatun hasanah”-keteladanan yang baik, dari sekedar mengajar (transfer of knowledge), ulama’ harusnya mendidik sebelum mengajar, sekaligus menerapkan Akhlaq yang baik dalam kesehariannya. Karenanya tidak semua orang yang berilmu layak mendapat sebutan ulama’, untuk bisa meraih gelar itu selain dituntut sebagai pengemban ilmu juga harus menjadi pengamal ilmu yang di-embannya (A’lim dan A’mil).
Selain itu itu ulama’ juga bertugas mensyiarkan dan memasyarakatkan ilmunya dalam rangka memberikan informasi (Tabligh), disertai (Tabyiin) penjelasan’yang bertanggung jawab’ guna memberikan solusi berbagai problem umat, juga bimbingan (Irsyad) dan tuntunan (Taujihat). Ulama’ juga bertugas sebagai (Hakam) penengah dan pengayom yang arif dan bijak dalam menyelesaikan segala macam konflik yang dihadapi umat dengan mengedepankan keteladanan yang baik. Hal ini dikarenakan mereka mewarisi “Risalah Nabawiyah” atau tugas-tugas pokok para Nabi, dalam ucapan, ilmu, ajaran, amaliah juga mental dan moralitasnya. (al-Ulama’ warotsatul-anbiyaa’) Para ulama’ adalah pewaris para Nabi, demikian tersebutkan dalam al-Hadits.
Kriteria ulama’ versi al-Qur’an diatas ternyata tidak beda jauh dengan Kriteria konvensional dalam penilaian masyarakat muslim secara sederhana, bagi orang awam, seseorang layak disebut sebagai ulama’ atau kiai apabila paling tidak mereka yang punya santri atau pesantren, memiliki kadar ilmu dan ketaqwaan yang lebih dari orang kebanyakan sekaligus mampu memahami kemaslahatan umat. Berdasar hal-hal tersebut diatas realita telah membuktikan bahwa kedudukan luhur para ulama’ tersebut menjadikan masyarakat memandang mereka tidak hanya sebagai pemuka Agama, tapi juga sebagai (Zuamaa’) pemimpin dan kiblat serta panutan bagi umatnya, sehingga pandangan, keputusan dan fatwa-fatwanya mudah sekali diikuti masyarakat. Posisi strategis itulah yang memungkinkan mereka selalu berinteraksi dengan Negara dan pemerintahan dalam “perspektif politik”.
Namun demikian jika kita bicara hubungan politik versus Agama, sudah barang tentu dalam hal ini ulama’ atau kiai sayogyanya menganut (traditional religio political system) yaitu system kemasyarakatan yang di dalamnya tidak memisahkan antara komunitas politik dan komunitas keagamaan. Ironisnya justru hal itulah yang malah menempatkan mereka dalam posisi yang rumit dan dilematis. Karena mereka harus membawa menu Agama yang basisnya murni spiritual ke jurang politik praktis yang bersifat “profan”. Sebenarnya upaya mengawinkan Agama dengan politik itu sah-sah saja, tapi persoalannya seberapa jauh persentuhan itu tidak membuat para ulama’ atau kiai menjadi ‘korban syahwat iming-iming pada kepentingan politik jangka pendek dan memancing ketegangan diantara mereka dan diantara para pendukungnya. Lalu sejauh mana pesan luhur Agama yang mereka bawa telah dapat memberikan makna moralitas bagi proses politik yang cenderung menghalalkan segala cara dalam mengejar riyasah (jabatan)?.
Trend yang kita lihat selama ini perkawinan antara keduanya (Agama & Politik) alih-alih merubah perilaku politik agar lebih bermoral, justru yang terjadi adalah fenomena konflik antar kiai, yang saling kubu-kubuan dan ‘bolo-boloan’. Lebih tragisnya hal ini sering berdampak kecendrungan memosisikan Agama hanya sebagai instrument politik, ditambah lagi radikalisasi politik atas nama Agama. Nilai-nilai luhur Agama justru tidak berdaya ketika berhadapan dengan arogansi kekuasaan. Sehingga Agama dalam hal ini lebih sering dijadikan pembenar bukan lagi sebagai sumber kebenaran. Namun demikian saya masih berhusnudzon pada para ulama’ kita yang berkiprah dalam percaturan politik, saya yakin mereka mempunyai ijtihad sendiri dan saya berharap mereka benar-benar telah menimbang antara maslahat dan mafsadahnya. Karena sampai saat ini umat yang kebanyakan masyarakat awam, belum mampu membedakan antara ‘kiai politik dan politik kiai’
Pada akhirnya saya berharap porsi tensitas para ulama’ kita pada masalah-masalah keumatan tetap lebih besar. Karena merekalah rujukan umat, bukankah Nabi Saw telah menegaskan “Arhamunnasi bi ummatiy ulamaauha” (yang paling welas kepada umatku adalah para ulama’). Allahumma Qod Ballaghtu..

5 komentar:

Hakim Jayli 14 Mei 2009 pukul 10.21  

Ahlan... Ya Marhaba... Selamat atas terbitnya personal webblog antum. Semoga menjadi 'jendela' bagi dakwah antum ke seluruh dunia melalui dunia maya.

Abubakar Assegaf 14 Mei 2009 pukul 10.24  

Syukran atas support moralnya...

Abubakar Assegaf 15 Mei 2009 pukul 11.57  

Kalau selama ini sering kita dengar Da'wah Bil-Qolam & Billisan, maka kini saatnya saya mencoba untuk menambah media Da'wah, yaitu Da'wah Bil-Blog

Aji Setiawan, ST 23 Mei 2009 pukul 03.01  

Assalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Infonya saya baca. Sangat bermanfaat.

Wassalamu'alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Aji Setiawan

fathul iman 30 Mei 2009 pukul 22.22  

zaman sekarang sangat susag mencari kyai yang benar benar ngurusi akidah umat, aku yang tinggal kiblatnya ormas islam,sangat kesulitan mana kyai dan mana politikus, dan omongan yang berkembang di masayarakat "Kyai jaman sekarang golek suket ijo" alias mencari kekuasaan , da juga yang bilang " kyai jaman sekarang menjual sorbannya untuk kekuasaan" , menurut ustadz gimana,,


akankah masyarakat akan meninggalkan ulama?.

ada yang mengatakan salah satu tanda kiamat yaitu. umt tak lagi percaya dengan kyai..

menurut anda?