Kamis, 28 Mei 2009

Al-Qalam

DA’WAH BIL-QALAM (I)

Kata Al-qalam dalam surat Al-A’laq (96) – 4: "Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, * yang mengajar (manusia) dengan perantaran al-qalam" Dan Al-Qalam di surat Al-Qalam (68) – 1: "Nun, demi qalam dan apa yang mereka tulis".
Terdapat pertalian yang sangat erat. Disamping keduanya sama-sama turun di Mekkah, juga keduanya menarik perhatian manusia. Dengan Qalam-lah Ilmu pengetahuan dicatat dan diabadikan. Sebagaimana kitab-kitab suci yang diturunkan Allah kepada para NabiNya (Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an). Tersebarnya berbagai disiplin Ilmu Agama dipermukaan bumi ini, semisal; Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqih, Ilmu Tasawwuf, Ilmu Bahasa Arab seperti Nahwu, Shorof dan Balaghah, dan berates-ratus ilmu yang lain, ditulis dan dikembangkan dengan: ."Nun, demi qalam dan apa yang mereka tulis".
diatas kertas dalam berbagai ragam, sejak 15 abad yang lalu.
Konon seorang santri yang cerdas berguru pada ulama’ yang telah tersohor namanya menanyakan tentang sesuatu yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Santri yang telah berguru kurang lebih 15 tahun tersebut masih penasaran tentang ilmu tulis menulis yang konon wajib dipelajari di pesantren tempat dia berguru. “Maaf, syaikh yang dimuliakan oleh Allah SWT , apakah seorang da’i wajib memiliki keahlian dalam bidang tulis menulis ?”. tanya santri pada gurunya. “Wahai anakku yang tercinta, dunia tulis menulis tak bisa lepas dari seorang yang mengaku sebagai ulama’, karena da’wah lewat tulisan tersebut lebih menjangkau keseluruh lapisan masyarakat”. Jawab syaikh yang telah menulis sekitar 20 kitab risalah tersebut dengan tutur kata yang lembut dan sopan. Menyimak penuturan diatas memang sosok ulama’ yang sejati tentunya tak akan meninggalkan kertas untuk menorehkan kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam rangka berusaha menyampaikan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dunia tulis-menulis sangat erat kaitannya dengan ulama’’, sebab da’wah lewat tulisan (Bilqalam) sangat efektif untuk memberikan informasi dan penerangan kepada umat hingga ke seluruh penjuru dunia.
Ulama’ memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki kondisi sosial kemasyarakatan. Ditengah beban akuntabilitas terhadap perbaikan moral umat itulah da’wah seorang ulama’ lewat tulisan amat dibutuhkan karena da’wah Bil-Qalam tersebut dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan lebih banyak menyedot pembaca dibanding da’wah bil- Lisan. Walaupun tentunya ulama’ yang berjuang lewat lisan harus dimuliakan, sebab mereka di sisi Allah sangatlah dijunjung dan diagungkan. Pesan-pesan dan petuah-petuah yang disampaikan mereka mengandung peringatan yang sarat makna bagi kehidupan ini dan telah memberikan kontribusi besar bagi kebaikan umat. Ulama’ sebagai pewaris perjuangan Nabi SAW hendaknya membawa risalah tersebut disertai dengan implementasi berupa keikhlasan dan budi pekerti luhur terhadap apa yang telah diajarkan kepada umat. terlebih ulama’ yang berjuang lewat jalur Bil-Qalam tentunya dalam menyampaikan misi da’wah lewat tulisannya tersebut harus kukuh bahasanya, tajam pengolahan analisa dan tak membingungkan umat.
Komitmen sosok ulama’ yang berjuang lewat pena dan tintanya amat patut diacungi jempol, sebab da’wah lewat pena amatlah efektif karena lebih banyak dalam menyerap perhatian umat lewat membaca karya tersebut. Disamping itu, da’wah Bil- Qalam amat mulia, karena si penulis akan dikenang sepanjang masa walaupun telah meninggal dunia. Lihat saja, ulama’-ulama’ yang berjuang lewat pena dan tintanya, seperti Imam Nawawi dengan karya tulisnya yang sampai saat ini dijadikan rujukan oleh kalangan pesantren diseluruh dunia seperti “Syarah- Arbain an-Nawawiyah”. Demikian juga Imam Suyuti yang telah menghasilkan ratusan karya tulis dalam berbagai fan Ilmu. Belum lagi, karya tulis para ulama’ salaf dari Hadramaut seperti Imam Al Habib Abdullah bin Alwiy Al Haddad, meskipun kedua bola matanya tak dapat melihat karena menderita penyakit cacar sejak lahir, beliau adalah penulis yang produktif, tajam analisanya, kukuh dalam pengolahan kata-kata. Sampai saat ini buah pena beliau r.a. masih dijadikan rujukan seperti An-Nassoihud-Dinniyah, Alfusul –al-ilmiyah, Sabilul-Iddikar, Aqidatul-Islam, Adda’watut-Tammah, Adabu Sulukil-Murid, Risalatul Mu’awanah dan Ithafus Sail bi Syarh Masail. Bahkan kitab-kitab karangan Imam Al Haddad juga dijadikan rujukan oleh beberapa universitas Islam internasional.
Belum lagi karya-karya para ulama’ muta’akhirin dari Hadramaut dan lain sebagainya yang masih hidup hingga sekarang seperti Al Habib Umar bin Muhammad bin Syaikh Abi Bakar bin Salim, karya-karya beliau tersebar sampai ke Indonesia dan dijadikan rujukan ulama’, para santri dan pelajar di berbagai perguruan tinggi Islam. Di antaranya seperti “Diyaul- Lami`, Dhakirah al-Musyarrafah, Mukhtar al-ahadist, Nurul-iman, Tsaqhafatul Khatib”. Masih banyak ulama’ yang telah menorehkan karya tulisnya yang tak dapat penulis sebutkan disini. Tinta para ulama’ adalah kemuliaan disisi Allah, karena tinta itu digoreskan dengan pena yang tajam untuk membela agama Allah SWT. Apabila ulama’ yang menuliskan karyanya diatas kertas itu gugur, maka ia laksana berperang dijalan Allah menggunakan sebilah pedang. Tak berlebihan kiranya jika tinta ulama’ itu seperti darah para syuhada’ yang gugur di medan pertempuran. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW , “Tinta para ulama’’ ditimbang sesuai darahnya orang-orang yang mati syahid.”
Para penulis Islam tersebut telah berperan sebagai Mu’addib (pendidik umat), Musaddid (pelurus informasi keislaman), Mujaddid (pembaharu pemahaman tentang Islam), Muwahhid (pemersatu atau perekat ukhuwwah Islamiah) dan sekaligus menyimpulkan berbagai peran tadi yaitu sebagai Mujahid (pejuang, pembela, dan penegak kalimat Allah). Keagungan karya ulama’-ulama’ salaf maupun khalaf yang menggoreskan penanya diatas kertas, memang suatu anugerah yang diberikan oleh Allah SWT. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan derajat kenabian. Mereka orang-orang yang datang membawa kemuliaan dan pergi membawa keharuman. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang paling dekat dengan derajat kenabian ialah orang yang punya ilmu dan orang yang berjuang (Jihad) di jalan Allah”. ahli ilmu ialah yang menunjukkan sesuatu yang dibawa para rasul dengan ilmunya, dan seorang pejuang ialah orang yang memperjuangkan hal-hal yang dibawa rasul SAW” dengan pedangnya. Ketika perang berkecamuk, prajuritlah yang jadi panglima. Disaat kemenangan diraih, penalah yang jadi jendralnya. Demikian ungkap Ibnu Khaldun.

0 komentar: