Jumat, 29 Mei 2009

Bukan Blog Biasa

DA’WAH BIL-QALAM (II)

Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan Allah adalah Al-Qalam, lalu Dia berkata padanya, “Tulislah”. Al-Qalam bertanya “Apa yang harus kutulis?” Ia berfirman; “Tulislah apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, sampai hari kiamat, baik perbuatan, pemberian, maupun peninggalan.” Lalu qalam menulis apa yang dititahkan Tuhannya. Itulah kurang lebih maksud Allah dalam ayat: Nun, perhatikan qalam dan apa yang dituliskannya. Begitulah sebagaimana sabda Rasulullah SAW.

Al-Saubuniy berkata: perhatikan keajaiban qalam dari segala sesuatu yang ditulisnya. Dalam hadits qudsi tersebut, Allah bersumpah dengan qalam dan kitab yang ditulis dengan maksud membuka pintu pengajaran keduanya. Betapa qalam telah menjadi sebuah anugerah besar dariNya, agar orang dapat menuliskan buah pikiran, keinginan dan perasaan. Dengan kehadiran qalam, Ilmu pengetahuan tiada tersisa tercatat, berbagai karya ilmiah terabadikan berkat percikan tinta (goresan pena).

Dengan mengesampingkan ulasan filosofis yang berbelit-belit, barangkali tidaklah keliru bila dikatakan bahwa para “penulis” atau “jurnalis” adalah Al- qalam. Sebab sepanjang sejarahnya, ia bertugas merekam apa yang sudah terjadi dan memprediksi apa yang bakal terjadi. Jurnalis merupakan pemahat-pemahat yang mengabadikan peristiwa dan pandangan (news and views) dalam batu sejarah umat manusia. Mereka memenuhi panggilan fitrah kemanusiaan yang ditunjang semangat dan kerja keras, karena itulah jiwanya meras terpanggil member tuntunan, bimbingan dan pencerahan kepada umat.

Pahala yang besar adalah—Jariyah dari tulisan mereka, apalagi dibaca oleh lintas generasi. Sudah seharusnya diantara umat Islam harus ada yang tampil menginvestasikan kemampuannya dalam mengolah gerit pena dan juga kritis terhadap informasi yang diterima. Karena salah satu tantangan yang dihadapi umat Islam masa kini adalah menumbuh kembangkan jurnalistik islami, atau menjadikan pers islami sebagai Ideologi para jurnalis Muslim demi membela kepentingan Islam dan umatnya, juga dalam rangka mensosialisasikan nilai-nilai Islam sekaligus meng counter serta mem-filter derasnya arus informasi jahili dari Barat.

Kini seiring dengan meledaknya informasi komunikasi dan tekhnologi (Information Communication Technology-ICT) yang sudah dimaklumi semua pihak, dimana menurut data sepuluh tahun terakhir, dalam satu tahun terbit lebih dari dua juta artikel yang ditulis oleh kurang lebih tujuh puluh lima ribu penulis dalam lima puluhan bahasa. Diduga dalam tahun ini lahir empat sampai enam juta karya dari berbagai corak disiplin ilmu. Gejala ini perlu disikapi terutama oleh mereka yang sedang mengembangkan diri dengan menimba ilmu pengetahuan melalui berbagai cara, antara lain “membaca”.

Ayat-ayat Iqra’ , sebagai wahyu pertama yang revolusioner, berisi perintah baca-tulis kepada manusia yang saat itu sebagiannya justru “anti-huruf”, itulah yang kemudian menjadi ruh kebangkitan Islam. Gagasan untuk menggoreskan pena seakan tiada habisnya, bagai ujung yang tak tergapai (Ghayatun la tudrak) , terus menerus membuka kemungkinan baru untuk berekspresi. Obyek bacaan dalam konteks ini secara umum diartikan sebagi alam raya (Kauniyah) dan teks (Qauliyah).

Perintah Allah untuk membaca teks dan ala mini seakan menunjukkan bahwa R&D (Research and development) itu penting. Riset, analisis, refleksi, dan temuan (finding) merupakan serangkaian proses pencarian, penemuan, penbembangan ilmu pengetahuan, yang pada gilirannya mewujudkan peran manusia sebagai khalifah diatas bumi. Ayat pertama dalam wahyu yang diturunkan Allah itu, dimulai dengan perintah untuk membaca, lalu disusul dengan pernyataan bahwa manusia dapat mempelajari ilmu-ilmu Allah yang belum diketahuinya melalui torehan qalam. Urgensi qalam ada pada fungsinya sebagai media. Sedangkan media hanyalah menghantar ilmu.

Ilmu tak bisa tertangkap tanpa melalui proses pembacaan dan pemaknaan oleh manusia. Tetapi goresan qalam (tekstualitas) juga lebih solid sebagai penghantar ilmu ketimbang sekadar untaian kalam (oralitas). Bila produk qalam yang tanpa intonasi itu terbaca ia cenderung melahirkan kreativitas dan kultur baru (cree la curture), sedang kalam yang disertai penekanan dan aksentuasi cenderung hanya mewariskan kultur (heriter la culture) apa adanya. Karenanya, referensi teks lebih reliable (terpercaya) ketimbang referensi oral.

Kelengketan Al-Quran dengan jurnalistik Islam yang membiaskan pengaruh sangat luas dan dalam itu, eksis dalam hubungan keduanya, seperti saudara kembar, atau bagai pinang dibelah dua. Al-Quran adalah “firman Allah” sementara jurnalistik adalah “tangan manusia,” telah menunjukkan kelengkapannya. Jika kita pertegas lagi, Al-Quran wahyu yang datang dari Allah “pencipta segala sesuatu” sementara tulisan manusia berperan “mengekspresikan sesuatu.”

Dengan demikian jelas dapat dikatakan bahwa Al-Quran selalu mengiringi perjalanan jurnalistik Islam, dan jurnalistik Islam mengiringi perjalanan Al-Quran. Tidak berlebihan jika jurnalistik Islam kerap diidentikkan dengan “da’wah bilqalam-nya Islam, membuktikan makna dan pengaruhnya yang luhur, memiliki kedudukan terhormat dalam kesatuan ruang dan waktu bagi pejalanan da’wah Islam. Beberapa abad yang silam tulisan produk jurnalistik Islam memainkan peran dominan dalam mengisi hiruk-pikuk kebangkitan Islam secara menyeluruh.

Nabi Sulaiman a.s. yang diungkap Al-Quran (QS. An-Naml) pernah berda’wah lewat tulisan kepada penguasa Saba’ (Ratu Balqis). Begitu pula Rasulullah Muhammad SAW. Sering menyampaikan da’wahnya melalui tulisan seperti yang ditujukan kepada Kaisar Romawi Timur, Hiracles, Raja Parsi, Abrawaiz, Raja Habsyi, Raja Mesir Muqawqis, dan lain-lain, hingga suratnya mencapai 105 buah.

Sejalan dengan lajunya perkembangan zaman pula, gerakan da’wah telah mampu memanfaatkan hasil sains, tekhnologi, dan informasi modern untuk mencapai tujuan da’wah. Seperti kitab, buku-buku Islam, buletin, majalah, surat kabar, tabloid, brosur, internet dan seterusnya. Kiranya hal ini yang juga telah memotivasi saya untuk mencoba memanfaatkan kecanggihan tekhnologi dengan melakukan “Da’wah bil-Blog” (berda’wah dengan cara menulis hal-hal yang saya harap bisa bermanfaat melalui dunia maya dalam Personal Blog saya ini, yang Insya Allah menjadi “BBB” (Bukan Blog Biasa).

Tulisan ini saya maksudkan untuk mengungkap pentingnya da’wah dengan tulisan sebagai langkah menuju kejayaan seperti yang dilakukan Nabi Sulaiman a.s. dan Nabi Muhammad SAW.

Read more...

Kamis, 28 Mei 2009

Al-Qalam

DA’WAH BIL-QALAM (I)

Kata Al-qalam dalam surat Al-A’laq (96) – 4: "Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, * yang mengajar (manusia) dengan perantaran al-qalam" Dan Al-Qalam di surat Al-Qalam (68) – 1: "Nun, demi qalam dan apa yang mereka tulis".
Terdapat pertalian yang sangat erat. Disamping keduanya sama-sama turun di Mekkah, juga keduanya menarik perhatian manusia. Dengan Qalam-lah Ilmu pengetahuan dicatat dan diabadikan. Sebagaimana kitab-kitab suci yang diturunkan Allah kepada para NabiNya (Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur’an). Tersebarnya berbagai disiplin Ilmu Agama dipermukaan bumi ini, semisal; Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits, Ilmu Fiqih, Ilmu Tasawwuf, Ilmu Bahasa Arab seperti Nahwu, Shorof dan Balaghah, dan berates-ratus ilmu yang lain, ditulis dan dikembangkan dengan: ."Nun, demi qalam dan apa yang mereka tulis".
diatas kertas dalam berbagai ragam, sejak 15 abad yang lalu.
Konon seorang santri yang cerdas berguru pada ulama’ yang telah tersohor namanya menanyakan tentang sesuatu yang berkaitan dengan dunia tulis-menulis. Santri yang telah berguru kurang lebih 15 tahun tersebut masih penasaran tentang ilmu tulis menulis yang konon wajib dipelajari di pesantren tempat dia berguru. “Maaf, syaikh yang dimuliakan oleh Allah SWT , apakah seorang da’i wajib memiliki keahlian dalam bidang tulis menulis ?”. tanya santri pada gurunya. “Wahai anakku yang tercinta, dunia tulis menulis tak bisa lepas dari seorang yang mengaku sebagai ulama’, karena da’wah lewat tulisan tersebut lebih menjangkau keseluruh lapisan masyarakat”. Jawab syaikh yang telah menulis sekitar 20 kitab risalah tersebut dengan tutur kata yang lembut dan sopan. Menyimak penuturan diatas memang sosok ulama’ yang sejati tentunya tak akan meninggalkan kertas untuk menorehkan kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam rangka berusaha menyampaikan risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Dunia tulis-menulis sangat erat kaitannya dengan ulama’’, sebab da’wah lewat tulisan (Bilqalam) sangat efektif untuk memberikan informasi dan penerangan kepada umat hingga ke seluruh penjuru dunia.
Ulama’ memiliki tanggung jawab moral untuk memperbaiki kondisi sosial kemasyarakatan. Ditengah beban akuntabilitas terhadap perbaikan moral umat itulah da’wah seorang ulama’ lewat tulisan amat dibutuhkan karena da’wah Bil-Qalam tersebut dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat dan lebih banyak menyedot pembaca dibanding da’wah bil- Lisan. Walaupun tentunya ulama’ yang berjuang lewat lisan harus dimuliakan, sebab mereka di sisi Allah sangatlah dijunjung dan diagungkan. Pesan-pesan dan petuah-petuah yang disampaikan mereka mengandung peringatan yang sarat makna bagi kehidupan ini dan telah memberikan kontribusi besar bagi kebaikan umat. Ulama’ sebagai pewaris perjuangan Nabi SAW hendaknya membawa risalah tersebut disertai dengan implementasi berupa keikhlasan dan budi pekerti luhur terhadap apa yang telah diajarkan kepada umat. terlebih ulama’ yang berjuang lewat jalur Bil-Qalam tentunya dalam menyampaikan misi da’wah lewat tulisannya tersebut harus kukuh bahasanya, tajam pengolahan analisa dan tak membingungkan umat.
Komitmen sosok ulama’ yang berjuang lewat pena dan tintanya amat patut diacungi jempol, sebab da’wah lewat pena amatlah efektif karena lebih banyak dalam menyerap perhatian umat lewat membaca karya tersebut. Disamping itu, da’wah Bil- Qalam amat mulia, karena si penulis akan dikenang sepanjang masa walaupun telah meninggal dunia. Lihat saja, ulama’-ulama’ yang berjuang lewat pena dan tintanya, seperti Imam Nawawi dengan karya tulisnya yang sampai saat ini dijadikan rujukan oleh kalangan pesantren diseluruh dunia seperti “Syarah- Arbain an-Nawawiyah”. Demikian juga Imam Suyuti yang telah menghasilkan ratusan karya tulis dalam berbagai fan Ilmu. Belum lagi, karya tulis para ulama’ salaf dari Hadramaut seperti Imam Al Habib Abdullah bin Alwiy Al Haddad, meskipun kedua bola matanya tak dapat melihat karena menderita penyakit cacar sejak lahir, beliau adalah penulis yang produktif, tajam analisanya, kukuh dalam pengolahan kata-kata. Sampai saat ini buah pena beliau r.a. masih dijadikan rujukan seperti An-Nassoihud-Dinniyah, Alfusul –al-ilmiyah, Sabilul-Iddikar, Aqidatul-Islam, Adda’watut-Tammah, Adabu Sulukil-Murid, Risalatul Mu’awanah dan Ithafus Sail bi Syarh Masail. Bahkan kitab-kitab karangan Imam Al Haddad juga dijadikan rujukan oleh beberapa universitas Islam internasional.
Belum lagi karya-karya para ulama’ muta’akhirin dari Hadramaut dan lain sebagainya yang masih hidup hingga sekarang seperti Al Habib Umar bin Muhammad bin Syaikh Abi Bakar bin Salim, karya-karya beliau tersebar sampai ke Indonesia dan dijadikan rujukan ulama’, para santri dan pelajar di berbagai perguruan tinggi Islam. Di antaranya seperti “Diyaul- Lami`, Dhakirah al-Musyarrafah, Mukhtar al-ahadist, Nurul-iman, Tsaqhafatul Khatib”. Masih banyak ulama’ yang telah menorehkan karya tulisnya yang tak dapat penulis sebutkan disini. Tinta para ulama’ adalah kemuliaan disisi Allah, karena tinta itu digoreskan dengan pena yang tajam untuk membela agama Allah SWT. Apabila ulama’ yang menuliskan karyanya diatas kertas itu gugur, maka ia laksana berperang dijalan Allah menggunakan sebilah pedang. Tak berlebihan kiranya jika tinta ulama’ itu seperti darah para syuhada’ yang gugur di medan pertempuran. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW , “Tinta para ulama’’ ditimbang sesuai darahnya orang-orang yang mati syahid.”
Para penulis Islam tersebut telah berperan sebagai Mu’addib (pendidik umat), Musaddid (pelurus informasi keislaman), Mujaddid (pembaharu pemahaman tentang Islam), Muwahhid (pemersatu atau perekat ukhuwwah Islamiah) dan sekaligus menyimpulkan berbagai peran tadi yaitu sebagai Mujahid (pejuang, pembela, dan penegak kalimat Allah). Keagungan karya ulama’-ulama’ salaf maupun khalaf yang menggoreskan penanya diatas kertas, memang suatu anugerah yang diberikan oleh Allah SWT. Mereka adalah orang-orang yang dekat dengan derajat kenabian. Mereka orang-orang yang datang membawa kemuliaan dan pergi membawa keharuman. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Orang paling dekat dengan derajat kenabian ialah orang yang punya ilmu dan orang yang berjuang (Jihad) di jalan Allah”. ahli ilmu ialah yang menunjukkan sesuatu yang dibawa para rasul dengan ilmunya, dan seorang pejuang ialah orang yang memperjuangkan hal-hal yang dibawa rasul SAW” dengan pedangnya. Ketika perang berkecamuk, prajuritlah yang jadi panglima. Disaat kemenangan diraih, penalah yang jadi jendralnya. Demikian ungkap Ibnu Khaldun.

Read more...

Sabtu, 16 Mei 2009

Bergabung Dengan Nur Muhammad SAW

“ Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyanyang bagi orang-orang yang mu’min”.( At-Taubah: 128 )

Umat Islam di muka bumi, dari abad ke abad, dari era ke era, serta dari priode ke priode kehidupannya, telah ribuan kali atau bahkan ratusan ribu kali – atau entahlah berapa persisnya memperingati hari kelahiran Nabi Agung Muhammad SAW, yang mereka junjung tinggi dan mereka dekap intim dalam hati karena kemuliaannya.

Setiap masyarakat Muslim, setiap kelompok, serta setiap orang mengagung – agungkannya ratusan ribu kali. Muhammad SAW tidak menjadi lapuk oleh panas hujan segala zaman. Muhammad SAW dipelihara namanya di zaman orang bertani, serta di zaman ultra modern ketika kekuatan alat informasi dan komunikasi dijadikan “Dewa”.

Muhammad SAW tidak pernah disebut “kuno”, meski kita punya Mercedes paling mutakhir, super computer serta segala jenis tekhnologi yang paling dibangga – banggakan. Muhammad SAW tidak pernah dikategorikan sebagai manusia masa silam dengan muatan nilai – nilai dekaden, meski kita telah memiliki apapun yang melambangkan pencapaian – pencapaian kontemporer.

Muhammad SAW senantiasa hadir kembali. Ia senantiasa lahir dan lahir kembali memunculkan dirinya dalam setiap konteks pemikiran, manifestasi peradaban dan kebudayaan, serta dalam setiap produk dan ungkapan kemajuan.

Muhammad SAW tidak pernah mati, kecuali darah daging dan jasadnya yang telah manunggal dengan tanah. Badan Muhammad SAW bertauhid, Jasmaninya kini telah ditransformasikan ke dalam wujud – wujud yang lebih lembut dan hakiki.

Muhammad SAW yang abadi, yang mengabadi atau yang menjadi keabadian, dan hari – hari ini melintasi kehidupan kita terbuat dari segala yang dilakukannya semasa jasmaninya hidup. Wajah beliau kini terdiri atas seluruh nilai perilakunya dulu. Cahaya wajah itu terbuat dari sujud- sujud sembahyangnya.

Badannya terbikin dari amal bajik selama terlibat menghancurkan kebudayaan jahiliyah. Kaki dan tangannya dirakit dari pahala dan jasa besar kepada umat ini yang kelak akan menolongnya memperoleh tempat paling tinggi di sisi rabbnya.

Demikian juga kita kelak. Daging kita akan rapuh, kulit mengeriput, rambut memutih, dan seluruh badan kita akan musnah menjadi debu material yang hina. Badan dan identitas kita selanjutnya akan dibentuk oleh system dari pilihan – pilihan kelakuan kita, dari kepribadian dan sikap kita, dari barang – barang yang kita amalkan atau yang kita korup, dari segala sesuatu yang kita Islamkan atau kita curi.

Islam telah memandu kita bagaimana memilih masa depan yang terbaik dan termulia. Islam membimbing kita untuk merancang jenis kemakhlukan macam apa kita akan menjadi kelak. Islam juga memberi pilihan kepada kita, apakah kita akan merekayasa diri menjadi benda setingkat debu, menjadi api dan kayu bakar penyiksa diri sendiri, atau alhamdulillah jika kita lulus menempuh perubahan dari materi menuju Cahaya yang suci. Dengan begitu kita bisa bergabung dengan Muhammad otentik, Muhammad hakiki, Nur Muhammad. Cahaya yang terpuji, asal usul inisiatif penciptaan oleh Allah.

Cahaya cikal bakal yang pada abad ke 13 diwujudkan melalui seorang laki – laki yang gencar menentang arus. Menjajakan tauhid di tengah - tengah berhala. Yang bersedia menggenggam pedang untuk mempertahankan diri dan menegakkan nilai – nilai luhur, dan yang bersedia tidur beralaskan daun kurma. Yang kalau lapar ia merasa enggan untuk meminta sehingga mengganjal perutnya dengan batu. Yang punya nilai tawar tinggi untuk berkuasa namun memilih hidup dalam kemiskinan.

Ya Rasulallah, betapa kami mencintaimu, betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan. Sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apapun. Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh – sungguh, betapa tak bisa dibandingkan, karena hanya satu tingkat belaka dibawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah SWT.

Akan tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu. Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata, kalimat, rebana, dan kasidah – kasidah. Dalam sehari – hari kehidupan kami, kami masih lebih tertarik kepada hal – hal lain.

Kami tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu, ke majlis – majlis maulidmu, namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria tatkala kami datang ke toko – toko serba ada, ke bioskop, ke pasar malam, ke tempat – tempat rekreasi dan hiburan.

Kami mengirim shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah, karena Ia sendiri bersama para MalaikatNya juga bershalawat kepadamu. Namun pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri.

Seperti juga kalau kami bersujud kepada Allah, kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban, tidak karena kebutuhan , kerinduan atau cinta yang meluap – luap. Kalau kami berdoa, doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing - masing.

Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai umatmu. Ya Muhammad Sallallahu a’laika wa sallam, kami mencintaimu namun kami belum benar – benar mengikutimu. Kami masih takut dan terus menerus tergantung pada kekuasaan kecil di sekitar kami. Kami menunduk kepada benda – benda. Kami bersujud kepada uang. Dan begitu banyak hal – hal yang memalukan.

Zaman telah mengubah kami dan kami telah mengubah zaman. Namun kualitas percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat. Kami semakin pandai namun kami tidak semakin bersujud. Kami semakin pintar namun kami tidak semakin berislam. Kami semakin berkembang namun kami tidak semakin berihsan.sel – sel memuai, dedaunan memuai, pohon – pohon memuai, namun kesadaran kami tidak, keinsafan kami tidak, kecintaan kami tidak.

Assholatu was-Salamu A’alika ya Rasulallah…

Read more...

Kamis, 14 Mei 2009

ANTARA KIAI POLITIK DAN POLITIK KIAI

Dalam al-Qur’an, ada dua ayat yang menegaskan “Eksistensi Ulama’”. Yang pertama dalam surat Faathir-28, dalam ayat ini terlebih dahulu Allah mengajak hambaNya untuk memahami ayat-ayatNya yang bersifat “Kauniyyah” (Fenomenal) dengan menjelaskan secara detail tentang bagaimana “Ia menurunkan hujan dari langit dan menumbuhkan darinya berbagai buah-buahan yang beraneka ragam jenis dan warnanya, juga tentang gunung-gunung dengan berbagai keindahan ragamnya, ada yang mengeluarkan garis-garis putih,merah juga ada yang hitam pekat, pernyataan ini diteruskan dengan mengajak kita untuk berpikir tentang berbagai macam binatang melata,hewan ternak juga tentang manusia itu sendiri”, setelah penjelasan fenomena alam tersebut barulah Allah menutup ayat ini dengan firmanNya “Sesungguhnya orang yang paling ‘takut’ (tunduk) kepadaNya hanyalah mereka yang berilmu (yang disebut dengan Ulama’) ayat ini dengan jelas menggambarkan bahwa ulama’ adalah orang-orang yang memiliki pemahaman yang benar tentang alam semesta sebagai ayat atau tanda kebesaran Allah yang bersifat Kauniyyah. Pemahaman & penghayatan dari ayat inilah yang menghantarkan mereka para ulama’ memiliki sikap Tawadhu’ alias Andap asor, sebagai salah satu ciri yang harus dimiliki mereka karena merasakan kelemahan dirinya dihadapan sang Kholiq yang serba maha. Jadi ia tidak sombong, bersedia menghargai orang lain, dan lebih suka menghormati daripada dihormati.
Dalam ayat kedua yang juga menyitir ulama’ pada surat Asshoff 2-3 Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan”. Ayat ini dengan redaksi yang cukup lugas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya, seorang ulama’ adalah guru yang lebih menitik beratkan pada aspek pendidikan yang mengarah pada “uswatun hasanah”-keteladanan yang baik, dari sekedar mengajar (transfer of knowledge), ulama’ harusnya mendidik sebelum mengajar, sekaligus menerapkan Akhlaq yang baik dalam kesehariannya. Karenanya tidak semua orang yang berilmu layak mendapat sebutan ulama’, untuk bisa meraih gelar itu selain dituntut sebagai pengemban ilmu juga harus menjadi pengamal ilmu yang di-embannya (A’lim dan A’mil).
Selain itu itu ulama’ juga bertugas mensyiarkan dan memasyarakatkan ilmunya dalam rangka memberikan informasi (Tabligh), disertai (Tabyiin) penjelasan’yang bertanggung jawab’ guna memberikan solusi berbagai problem umat, juga bimbingan (Irsyad) dan tuntunan (Taujihat). Ulama’ juga bertugas sebagai (Hakam) penengah dan pengayom yang arif dan bijak dalam menyelesaikan segala macam konflik yang dihadapi umat dengan mengedepankan keteladanan yang baik. Hal ini dikarenakan mereka mewarisi “Risalah Nabawiyah” atau tugas-tugas pokok para Nabi, dalam ucapan, ilmu, ajaran, amaliah juga mental dan moralitasnya. (al-Ulama’ warotsatul-anbiyaa’) Para ulama’ adalah pewaris para Nabi, demikian tersebutkan dalam al-Hadits.
Kriteria ulama’ versi al-Qur’an diatas ternyata tidak beda jauh dengan Kriteria konvensional dalam penilaian masyarakat muslim secara sederhana, bagi orang awam, seseorang layak disebut sebagai ulama’ atau kiai apabila paling tidak mereka yang punya santri atau pesantren, memiliki kadar ilmu dan ketaqwaan yang lebih dari orang kebanyakan sekaligus mampu memahami kemaslahatan umat. Berdasar hal-hal tersebut diatas realita telah membuktikan bahwa kedudukan luhur para ulama’ tersebut menjadikan masyarakat memandang mereka tidak hanya sebagai pemuka Agama, tapi juga sebagai (Zuamaa’) pemimpin dan kiblat serta panutan bagi umatnya, sehingga pandangan, keputusan dan fatwa-fatwanya mudah sekali diikuti masyarakat. Posisi strategis itulah yang memungkinkan mereka selalu berinteraksi dengan Negara dan pemerintahan dalam “perspektif politik”.
Namun demikian jika kita bicara hubungan politik versus Agama, sudah barang tentu dalam hal ini ulama’ atau kiai sayogyanya menganut (traditional religio political system) yaitu system kemasyarakatan yang di dalamnya tidak memisahkan antara komunitas politik dan komunitas keagamaan. Ironisnya justru hal itulah yang malah menempatkan mereka dalam posisi yang rumit dan dilematis. Karena mereka harus membawa menu Agama yang basisnya murni spiritual ke jurang politik praktis yang bersifat “profan”. Sebenarnya upaya mengawinkan Agama dengan politik itu sah-sah saja, tapi persoalannya seberapa jauh persentuhan itu tidak membuat para ulama’ atau kiai menjadi ‘korban syahwat iming-iming pada kepentingan politik jangka pendek dan memancing ketegangan diantara mereka dan diantara para pendukungnya. Lalu sejauh mana pesan luhur Agama yang mereka bawa telah dapat memberikan makna moralitas bagi proses politik yang cenderung menghalalkan segala cara dalam mengejar riyasah (jabatan)?.
Trend yang kita lihat selama ini perkawinan antara keduanya (Agama & Politik) alih-alih merubah perilaku politik agar lebih bermoral, justru yang terjadi adalah fenomena konflik antar kiai, yang saling kubu-kubuan dan ‘bolo-boloan’. Lebih tragisnya hal ini sering berdampak kecendrungan memosisikan Agama hanya sebagai instrument politik, ditambah lagi radikalisasi politik atas nama Agama. Nilai-nilai luhur Agama justru tidak berdaya ketika berhadapan dengan arogansi kekuasaan. Sehingga Agama dalam hal ini lebih sering dijadikan pembenar bukan lagi sebagai sumber kebenaran. Namun demikian saya masih berhusnudzon pada para ulama’ kita yang berkiprah dalam percaturan politik, saya yakin mereka mempunyai ijtihad sendiri dan saya berharap mereka benar-benar telah menimbang antara maslahat dan mafsadahnya. Karena sampai saat ini umat yang kebanyakan masyarakat awam, belum mampu membedakan antara ‘kiai politik dan politik kiai’
Pada akhirnya saya berharap porsi tensitas para ulama’ kita pada masalah-masalah keumatan tetap lebih besar. Karena merekalah rujukan umat, bukankah Nabi Saw telah menegaskan “Arhamunnasi bi ummatiy ulamaauha” (yang paling welas kepada umatku adalah para ulama’). Allahumma Qod Ballaghtu..

Read more...